BackgroundThe WHO has warned that substandard and falsified medicines threaten health, especially in low and middle-income countries (LMICs). However, the magnitude of that threat for many medicines in different regions is not well described, and high-quality studies remain rare. Recent reviews of studies of cardiovascular and diabetes medicine quality recorded that 15.4% of cardiovascular and 6.8% of diabetes samples failed at least one quality test. Review authors warn that study quality was mixed. Because they did not record medicine volume, no study reflected the risk posed to patients.Methods and findingsWe investigated the quality of five medicines for cardiovascular disease and diabetes in Malang district, East Java, Indonesia. Our sample frame, based on dispensing volumes by outlet and price category, included sampling from public and private providers and pharmacies and reflected the potential risk posed to patients. The content of active ingredient was determined by high-performance liquid chromatography and compared with the labelled content. Dissolution testing was also performed.We collected a total of 204 samples: amlodipine (88); captopril (22); furosemide (21); glibenclamide (21) and simvastatin (52), comprising 83 different brands/products. All were manufactured in Indonesia, and all samples met specifications for both assay and dissolution. None was suspected of being falsified.ConclusionsWhile we cannot conclude that the prevalence of poor-quality medicines in Malang district is zero, our sampling method, which reflects likely exposure to specific brands and outlets, suggests that the risk to patients is very low; certainly nothing like the rates found in recent reviews of surveys in LMICs. Our study demonstrates the feasibility of sampling medicines based on likely exposure to specific products and underlines the dangers of extrapolating results across countries.
Pendahuluan: Apoteker mempunyai peranan dalam pemusnahan obat diantaranya adalah melakukan pemusnahan obat dengan tepat di pelayanan kefarmasian dan mengedukasi masyarakat terkait dengan pemusnahan obat yang benar. Pemusnahan obat yang dilakukan dengan metode yang tidak tepat dapat menimbulkan kerusakan lingkungan serta kerugian klinis bagi masyarakat. Apoteker diharapkan memiliki pengetahuan yang baik dan tepat dalam melakukan pemusnahan obat dan mengedukasi masyarakat terkait pemusnahan obat. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan apoteker dengan ketepatan pemusnahan obat sisa, obat rusak dan obat kedaluarsa di apotek Malang Raya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-sectional. Sampel penelitian adalah Apoteker di Apotek Malang Raya yang dipilih dengan menggunakan tehnik convenient sampling. Sampel yang digunakan yakni sebanyak 106 responden. Terdapat 2 macam kuesioner yaitu kuesioner pengetahuan dan ketepatan Apoteker dalam memusnahkan obat sisa, obat rusak dan obat kadularsa yang digunakan dalam penelitian ini. Uji korelasi yang digunakan dalam penelitioan ini adalah uji Rank Spearman. Hasil: Dari 106 responden, 59% responden memiliki kategori tingkat pengetahuan “baik” dan 10% responden dikatakan “tepat” dalam pemusnahan obat. Dari uji korelasi diketahui bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan dan ketepatan Apoteker dalam pemusnahan obat (p = 0,522). Kesimpulan: Sebagian besar apoteker yang berpraktik di apotek wilayah Malang Raya memiliki pengetahuan baik mengenai pemusnahan obat sisa, obat rusak dan obat kedaluwarsa. Meskipun demikian, sebagian besar apoteker masih tidak tepat dalam memusnahkan obat sisa, rusak, dan kedaluwarsa, sehingga hasil uji korelasi antara pengetahuan dan ketepatan tersebut tidak berhubungan secara signifikan.
Nausea and vomiting of pregnancy (NVP) adalah kecenderungan untuk memuntahkan sesuatu, atau sensasi yang muncul di kerongkongan atau epigastrium, dengan atau tanpa muntah. Hal ini dapat terjadi pada empat minggu pertama hingga pada minggu kedua belas kehamilan. Penatalaksanaan mual muntah selama kehamilan dapat dilakukan dengan terapi farmakologis dan non farmakologis, namun 34% wanita tidak mengkonsumsi obat dan 26% diantaranya mengurangi dosis karena kekhawatiran efek samping obat yang digunakan pada kehamilan. Jahe dapat digunakan sebagai salah satu terapi non farmakologis karena kandungan gingerol dan shogaol dapat meringankan mual dan muntah dengan meningkatkan tonus lambung dan motilitas karena adanya efek antikolinergik dan antiserotonergik. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan metode Narrative Review dan dilaksanakan pada bulan Desember 2021 - Februari 2022. Pencarian artikel dilakukan secara hand searching pada dua database yaitu Google Scholar dan PubMed dengan menggunakan kata kunci “Jahe” OR “Zingiber officianale” AND Mual OR Nausea AND Pregnancy. 10 artikel memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Artikel yang digunakan dalam penelitian ini 90% dari Indonesia dan 10% berasal dari Iran. Pemberian jahe pada ibu hamil telah diberikan dalam berbagai bentuk berupa minuman jahe hangat, kapsul ekstrak jahe 500 mg, dan aromaterapi. Pemberian intervensi dilakukan 1-3 kali sehari dan selama 4-30 hari. Rata-rata penurunan frekuensi mual dan muntah adalah 11 – 135%, dan penurunan tingkat keparahan dari tingkat sedang (moderate) menjadi tingkat ringan (mild). Jahe dapat mengurangi frekuensi mual dan muntah dan dapat mengurangi derajat keparahan mual dan muntah pada ibu hamil
Lower-middle income Indonesia, the world’s fourth most populous country, has struggled to contain costs in its mandatory, single-payer public health insurance system since the system’s inception in 2014. Public procurement policies radically reduced prices of most medicines in public facilities and the wider market. However, professional associations and the press have questioned the quality of these low-cost, unbranded generic medicines. We collected 204 samples of four cardiovascular and one antidiabetic medicines from health facilities and retail outlets in East Java. We collected amlodipine, captopril, furosemide, simvastatin, and glibenclamide, sampling to reflect patients’ likelihood of exposure to specific brands and outlets. We recorded sales prices and maximum retail prices and tested medicines for dissolution and percentage of labeled content using high-performance liquid chromatography. We conducted in-depth interviews with supply chain actors. All samples, including those provided free in public facilities, met quality specifications. Most manufacturers make both branded and unbranded medicines. Retail prices varied widely. The median ratio of price to the lowest price for an equivalent product was 5.1, and a few brands sold for over 100 times the minimum price. Prices also varied between outlets for identical products because retail pharmacies set prices to maximize profit. Because very-low-cost medicines were universally available and of good quality, we believe richer patients who chose to buy branded products effectively protected medicine quality for poorer patients in Indonesia because manufacturers cross-subsidize between branded and unbranded versions of the same medicine.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.