Latar Belakang: Prevalensi kelelahan secara global bervariasi antara 2,36-75,7%. Kelelahan merupakan konsekuensi yang dapat dialami oleh peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitasi Indonesia (FKUI) selama menjalami proses pendidikan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kelelahan pada PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM setelah bertugas selama 24 jam di RSCM dengan menggunakan penilaian FAS, serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Metode penelitian adalah studi potong lintang dan acak. Analisis dilakukan terhadap 36 subjek peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI tahap paripurna, mandiri dan magang selama periode penelitian. Subjek diberikan kuesioner berisi pertanyaan mengenai faktor yang dapat memengaruhi tingkat kelelahan. Kelelahan secara subjektif diukur dengan Fatigue Assessment Scale (FAS) setelah peserta PPDS bekerja di Rumah Sakit dr.Cipto Mangunkussumo (RSCM) selama ≥ 24 jam.
Hasil: Sebanyak 55,6% peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif mengalami kelelahan seetelah bekerja di RSCM selama > 24 jam, dengan rerata skor kelelahan berdasarkan FAS adalah 23,6±4,2 yang berada diatas titik potong skor kelelahan dari FAS yaitu > 22. Kelelahan fisik memiliki rerata nilai yang lebih besar (15,19±2,7) dibandingkan dengan kelelahan mental (10,61±2,2) dengan perbedaaan yang bermakna (p<0.01). Kelelahan pada peserta PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI tidak dipengaruhi oleh karakteristik, gaya hidup dan karakteristik pekerjaan.
Kesimpulan: PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif mengalami kelelahan fisik pasca bekerja selama >24 jam di RSCM. Kelelahan tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor gaya hidup dan pola kerja.
BACKGROUND: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) is a respiratory disease that has become the largest pandemic and also could put the heart at risk of dysfunction. Galectin-3 is involved in the inflammatory process that continues with remodeling and eventually fibrosis. Using galectin-3 examination, we could predict the possible worsening of heart function and evaluate data on influencing factors for increased left ventricular end-diastolic volume (LVEDV) which could later progress to heart failure.
METHODS: This is an observational prospective analytic study in the COVID-19 ICU of Sanglah Hospital, Bali, Indonesia. The study was conducted from June to October 2021. All research subjects had their blood samples taken for galectin-3 levels examination using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Subjects were also evaluated for left ventricular end-diastolic volume (LVEDV) with echocardiography, SOFA scores, and troponin I levels. Subjects were treated with COVID-19 standard protocol established by the Ministry of Health. After 72 h post-admission, subjects were re-examined for galectin-3 levels and LVEDV. Data were analyzed using STATA™.
RESULTS: A total of 45 research subjects were analyzed. Bivariate analysis of the difference of galectin-3 and LVEDV was shown to be insignificant (r = 0.08), no correlation was found between galectin-3 level and LVEDV on ICU admission (r = 0.191), and no correlation found between galectin-3 level and LVEDV after 72 h of hospitalization (r=0.197). Multivariate analysis also showed that none of the variables, namely, difference of galectin-3 level, age, gender, troponin I, SOFA, and Charlson scores had statistically significant correlation with LVEDV (p < 0.05).
CONCLUSION: No significant correlation was found between galectin-3 level and an increase in LVEDV.
ABSTRAK
ABSTRACTBackground: Increased blood pressure and heart rate are the most frequent response to laryngoscopy which sometimes causes serious complications. Laryngoscopy technique and tools modification lessen the nociceptive stimulation, thus preventing hemodynamic response. BURP maneuver is used to lower Cormack-Lehane level, but it can cause additional pain stimulation during laryngoscopy. The aim of this study was to compare the cardiovascular response and the need of BURP maneuver during laryngoscopy between CMAC ® and conventional Macintosh.
Pendahuluan. Terdapat beberapa instrumen model skor preoperatif yang dapat membantu menilai risiko komplikasi paru pascaoperasi dan diperkirakan ARISCAT merupakan instrumen yang sederhana, memiliki performa yang baik, namun penggunaannya belum luas. Model skor ini belum divalidasi di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk menilai kemampuan diskriminasi dan kalibrasi skor ARISCAT dalam memprediksi komplikasi paru pascaoperasi pada pasien di RS rujukan tersier di Indonesia. Metode. Penelitian ini adalah kohort retrospektif yang bertujuan untuk menilai kemampuan prediksi skor ARISCAT pada populasi Indonesia. Penelitian ini melibatkan subjek yang menjalani operasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo sepanjang tahun 2017. Variabel yang diteliti meliputi usia, saturasi oksigen, riwayat infeksi paru, anemia, jenis pembedahan, durasi operasi, pembedahan darurat, dan kejadian PPC yang terjadi dalam 30 hari pascaoperasi. Validasi eksternal skor ARISCAT dilakukan dengan menilai kemampuan diskriminasi dan kalibrasi. Diskriminasi dinilai dengan area under the curve (AUC) dan kalibrasi dinilai dengan uji Hosmer-Lemeshow dan plot kalibrasi. Hasil. Dari total 428 subjek yang diteliti, kami dapatkan insiden PPC sebesar 32%. Kemampuan diskriminasi menunjukkan nilai AUC sebesar 88,2% (IK 95%; 84,1-92,2%). Kemampuan kalibrasi pada uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan nilai p=0,052 dan plot kalibrasi menunjukkan koefisien r=0,968. Simpulan. Skor ARISCAT memiliki kemampuan diskriminasi dan kalibrasi yang baik pada pasien yang menjalani operasi di RSCM.
Latar Belakang:
Teknik multimodal analgesia dengan menggunakan dua atau lebih obat analgesik yang berkerja pemeriksaan endoskopi saluran cerna merupakan prosedur untuk mengevaluasi berbagai gejala saluran pencernaan, namun sering ditolak pasien karena menimbulkan efek samping nyeri dan rasa tidak nyaman karena gag reflex. Penggunaan adjuvan inhalasi lidokain sebagai obatanestetik lokal dapat menurunkan angka kejadian gag reflex sehingga dapat menjadi pilihan untuk sedasi pada endoskopi saluran cerna atas. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keefektifan dari spray lidokain dan inhalasi lidokain sebagai adjuvan pada endoskopi saluran cerna atas.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak tersamar tunggal pada150 pasien yang menjalani endoskopi saluran cerna atas dengan sedasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Pasien dibagi menjadi dua kelompok sama besar untuk adjuvan inhalasi yang berbeda. Sebanyak 75 orang pada kelompok pertama diberikan 0,5 mg/kgBB spray lidokain sedangkan 75 orang pada kelompok kedua diberikan 1,5 mg/kgBB inhalasi lidokain. Penilaian efek sedasi diukur menggunakan Skala Sedasi Ramsay. Data yang terkumpul dianalisa lebih lanjut secara statistik.
Hasil: Gag reflex terjadi sebanyak 1,3 % dari total subjek pada kelompok inhalasi lidokain dan 30,7% subjek pada kelompok spray lidokain (P<0,001). Rerata rescue dose propofol yang didapatkan pada kelompok inhalasi lidokain adalah 0,67 ± 5,77 mg/kgBB dan pada kelompok spray lidokain adalah 11 ± 17,9 mg/kgBB (P < 0,001).
Simpulan: Inhalasi lidokain lebih efektif sebagai anestetik lokal dibandingkan spray lidokain sebagai adjuvan pada endoskopi saluran cerna atas.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.