Introduction: Third molar surgery can cause post-operative complications to the patient due to the presence of wound from the incision. The study aimed to compare modified triangular (triangular reverse) flap with triangular and envelope flap on postoperative complications by the measurements on post-surgical swelling, trismus, pain scale, wound dehiscence and the occurrence of alveolar osteitis. Methods: Study design using a single-blind randomized clinical trial. Each treatment group consisted of 10 patients. An assessment was performed on day 1, 7 and 14 after surgery. The swelling was measured using different anatomical points, and trismus was measured using the distance of inter-incisal opening. The occurrence of dehiscence was measured from the width of the incision line. Alveolar osteitis and pain scale was observed. Results: The results of one way ANOVA (p > 0.05) shows there was no difference between treatment groups both for swelling and mouth opening, but there was a difference between treatment groups for dehiscence on days 7 and 14. The results of the Post Hoc test show that flap envelope differs from the other flap design, whereas triangular and triangular reverse flap showed no difference. Friedman test results (p > 0.05) showed no difference in VAS score. There was no alveolar osteitis occurred in each treatment group during postoperative control. Kruskal Wallis test (p > 0.05) showed that there was no difference of VAS score between treatment group during post-operative control. Conclusion: The triangular reverse flap design may decrease the occurrence of postoperative complication after mandibular third molar surgery.
LATAR BELAKANG: Proses inflamasi periapikal yang berlanjut dapat merangsang sisa epitel malassez di ligamentum periodontal. Granuloma dapat terbentuk sebagai pertahanan pertama terhadap nekrosis pulpa yang selanjutnya dapat menjadi abses periapikal. Kista radikuler dapat terjadi jika kondisi sebelumnya tidak segera ditangani. TUJUAN: Studi kasus ini bertujuan untuk mengevaluasi apikoektomi yang diikuti dengan enukleasi kista radikuler. KASUS: Seorang pria berusia 24 tahun datang dengan rujukan ke Klinik Bagian Konservasi Gigi Universitas Gadjah Mada untuk memeriksakan giginya dan melanjutkan perawatan saluran akar gigi. Keluhan utama adalah perubahan warna gigi dan seringkali muncul benjolan besar pada gusi gigi dengan riwayat trauma (kecelakaan) kurang lebih 12 tahun yang lalu yang tidak segera dilakukan untuk diperiksa dan dirawat. MANAJEMEN: Enukleasi kista yang terlihat pada foto rontgen dan CBCT dilakukan setelah perawatan saluran akar selesai. Kapsul dan kuretase jaringan granulasi kista dikirim ke bagian patologi anatomi. Apikoektomi dilakukan sekitar 3 mm dari apeks dilanjutkan dengan preparasi kavitas, pengisian retrograde menggunakan mineral trioxide aggregate dan aplikasi bone graft. Evaluasi dilakukan satu minggu pasca operasi dan dilanjutkan pembuatan restorasi akhir berupa pasak dowel dan mahkota zirkonia. KESIMPULAN: Apikoektomi diikuti dengan enukleasi kista radikuler yang dilakukan setelah perawatan saluran akar menunjukkan keberhasilan dalam proses penyembuhan yang ditandai dengan pengurangan lesi periapikal pada foto rontgen.
Kepompong ulat sutera (Bombyx mori) merupakan material yang sangat biokompatibel dan memiliki kemampuan regenerasi yang baik terhadap jaringan tubuh manusia dan studi terkini juga menunjukkan bahwa material ini digunakan sebagai wound dressing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan wound dressing dari kepompong ulat sutera terhadap kepadatan kolagen dan kekuatan tarik luka pada penyembuhan luka insisi kulit. Tikus Wistar jantan sesuai kriteria inklusi sebanyak 28 ekor dibagi secara acak ke dalam 4 kelompok,masing-masing kelompok 7 ekor, berdasarkan waktu dekapitasi dan berdasarkan bahan dressing (dressing kasa sebagai kelompok kontrol dan kepompong ulat sutera sebagai perlakuan). Masing-masing tikus mendapatkan insisi sepanjang 3 cm di kulit punggung tikus dan dijahit 3 simpul simple interrupted dengan benang nylon 4.0. Luka insisi pada punggung tikus ditutup dengan bahan dressing sesuai dengan kelompoknya. Pengamatan kepadatan kolagen dan kekuatan tarik luka dilakukan pada hari pengamatan ke-7 dan ke-14. Uji statistik independent t-test menunjukkan kepadatan kolagen kelompok wound dressing kepompong ulat sutera (bombyx mori) lebih padat dari kelompok kontrol, baik pada pengamatan hari ke-7 (p = 0,000) dan ke-14 (p = 0,000). Kekuatan tarik kelompok wound dressing kepompong ulat sutera (bombyx mori) lebih tinggi dari kelompok kontrol, baik pada pengamatan hari ke-7 (p = 0,000) dan ke-14 (p = 0,000). Penggunaan wound dressing kepompong ulat sutra meningkatkankepadatan kolagen dan kekuatan tarik penyembuhan luka insisi kulit tikus Wistar secara signifikan. Semakin padat kolagen akan meningkatkan kekuatan tarik.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.