92% populasi dunia bernapas di tengah kualitas udara yang buruk karena tingginya konsentrasi polusi udara. Polusi udara berkontribusi sebanyak 43% dari seluruh penyakit dan kematian akibat Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Particulate matter 2.5 (PM2.5), komponen polusi udara yang paling berbahaya, menyebabkan 4,2 juta kematian pada tahun 2017. PM2.5 bisa dibedakan menjadi PM2.5 dalam ruangan dan luar ruangan. PM2.5 luar ruangan memiliki rata-rata konsentrasi PM2.5 yang lebih tinggi sehingga tidak menutup kemungkinan mampu mempengaruhi PM2.5 dalam ruangan. Remediasi merupakan upaya untuk memulihkan area yang tercemar. Teknik remediasi yang sering digunakan saat ini adalah dengan menggunakan berbagai zat kimia untuk mengadsorpsi, memfiltrasi, ozonasi, fotolisis, dan biofiltrasi. Fitoremediasi merupakan remediasi yang menggunakan bantuan tanaman dengan memanfaatkan karakteristik permukaan tanaman serta mikroorganisme yang berada di dalam filosfer tanaman. Sirih gading (Epipremnum aureum) dan lili paris (Chlorophytum comosum) terbukti memiliki karakteristik permukaan daun yang mampu mengakumulasi PM2.5 terutama PM2.5 dalam ruangan. Selain itu, mikroorganisme yang terdapat di dalam filosfer kedua tanaman tersebut diketahui memiliki kemampuan untuk melakukan detoksifikasi PM2.5. Mikroorganisme yang memiliki kemampuan untuk detoksifikasi pada Epipremnum aureum adalah Aspergillus niger dan Aspergillus fumigatus serta bakteri filum Firmicutes. Sedangkan pada Chlorophytum comosum, mikroorganisme yang sangaet berperan adalah bakteri filum Proteobacteria.
Pendahuluan: Pandemi penyakit virus corona (COVID-19) 2019 yang mulai mewabah pada awal tahun 2020 memicu ditetapkannya Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) oleh WHO. Disebabkan oleh SARS-CoV-2, COVID-19 memiliki utamanya menginfeksi sistem pernafasan dengan menempel pada reseptor ACE2. Infeksi COVID-19 menyebabkan beragam manifestasi klinis mulai tanpa gejala hingga gejala berat yang mengancam nyawa bergantung pada berbagai faktor. Berbagai faktor yang mampu menentukan berat-ringannya manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh infeksi COVID-19 sangat perlu diperhatikan oleh klinisi sehingga mampu mengantisipasi kondisi pasien sebelum manifestasi klinis tersebut muncul. Kajian literatur ini bertujuan untuk membahas dan merangkum berbagai literatur terkait beberapa faktor yang dinilai paling menentukan tingkat keparahan infeksi COVID-19. Metode: Kajian literatur ini menggunakan berbagai artikel jurnal yang didapatkan dari pusat data daring yaitu PubMed dan Google Scholar. Artikel yang dipilih berupa artikel penelitian, systematic review dan meta-analysis, serta narrative review terfokus pada transmisi, manifestasi klinis, patogenesis dan respon imun, serta faktor risiko tingkat keparahan dari COVID-19. Pembahasan: Dari hasil pencarian literatur, didapatkan bahwa beberapa faktor yang paling sering diamati dan paling menentukan tingkat keparahan infeksi COVID-19 adalah usia, penyakit komorbid, defisiensi vitamin D, dan obesitas. Keempat faktor ini bukan merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam menentukan tingkat keparahan infeksi COVID-19 namun merupakan faktor yang saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam menentukan tingkat keparahan infeksi COVID-19 dengan mekanismenya masing – masing. Simpulan: Sebagian besar faktor yang menentukan tingkat keparahan COVID-19 merupakan faktor yang bisa dicegah. Hal ini membuat pengetahuan dan pemahaman klinisi mengenai faktor – faktor apa saja yang paling sering menentukan tingkat keparahan infeksi COVID-19 akan sangat membantu mencegah munculnya manifestasi klinis yang berat pada pasien COVID-19.
ABSTRAK Pendahuluan: Malaria merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perhatian banyak negara di seluruh dunia, terutama di Indonesia yang merupakan negara dengan iklim tropis. Untuk meminimalkan penularan malaria maka dilakukan upaya pengendalian terhadap Anopheles sp sebagai nyamuk penular malaria. Beberapa upaya pengendalian vektor yang dilakukan misalnya dilakukan larviciding. Insektisida konvensional seperti malathion, DDT dan piretroid yang umumnya digunakan untuk pengendalian vektor, diketahui menyebabkan masalah seperti polusi lingkungan, efek residu dan resistensi pada spesies nyamuk. Maka dari itu, kita harus mencari alternatif dari penggunaan insektisida yang berlebihan, mencari alternatif yang lebih aman dan ramah lingkungan. Salah satu tanaman yang berpotensi dijadikan larvasida alami yaitu bunga kamboja dan bunga kluwih. Metode: Tinjauan pustaka ini menggunakan berbagai bentuk sumber yang didapatkan dari portal publikasi daring. Pembahasan: Ekstrak bunga Plumeria sp. menunjukkan adanya steroid, alkaloid, flavonoid, glikosida, tanin dan minyak atsiri. Senyawa steroid, flavonoid, dan alkaloid merupakan beberapa senyawa yang diperkirakan memiliki efek larvisida. Steroid dapat menghambat pertumbuhan serangga yaitu perubahan dari stadium larva ke pupa dan sebaliknya. Flavonoid bekerja sebagai racun pernapasan. Alkaloid berperan sebagai racun kontak dan menghambat acetylcholinesterase, menimbulkan rasa pahit sehingga mengganggu proses pengambilan makan oleh larva. Sedangkan bunga kluwih mengandung senyawa seperti saponin, flavonoid, polifenol, yang memiliki efek mekanisme berurutan yaitu penghambat rangsang makan serangga, inhibitor pernafasan, hormon penghambat moulting. Simpulan: Kombinasi ekstrak bunga kamboja (Plumeria sp.) dan bunga kluwih (Artocarpus camansi) memiliki potensi untuk digunakan sebagai biolarvasida nyamuk Anopheles sp. Kata Kunci: Kamboja, Kluwih, Biolarvasida, Malaria
Alzheimer Disease (AD) is a chronic neurodegenerative disease. Currently, treatment for AD is limited to symptomatic treatment only, which are cholinesterase inhibitor and memantine. Acting as a symptomatic treatment, those drugs don't act on the pathogenesis of AD. Tramiprosate is a small aminosulfate substance which able to decrease the aggregation of amyloid plaque. Currently there are plenty of studies regarding its effectiveness for the treatment of AD, yet reviews regarding this topic are still lacking to analyze the effect of tramiprosate on clinical outcomes of mild to moderate Alzheimer disease (AD) patients. A systematic review was conducted based on PRISMA through PubMed, ScienceDirect, and CENTRAL, searching for randomized controlled trials which analyze tramiprosate's effects on clinical outcomesof mild to moderate AD patients. Studies selected were then assessed for bias risk with CONSORT criteria. The search yielded six RCTs with a total of 6.346 subjects. Tramiprosate intervention is proven to be effective in reducing ADAS-cog and CBR-SB score while decreasing the decline of hippocampus volume significantly. Furthermore, there are another clinical benefit, such as increasing DAD and cognitive function that showed a positive trend. To conclude, tramiprosate showed promising results to be widely implemented as treatment for mild to moderate AD patients.
Abstrak Latar belakang: Diabetes mellitus tipe 1 (T1DM) merupakan penyakit autoimun kronis yang ditandai dengan peningkatan akdar glukosa darah yang persisten (hiperglikemia). Utamanya diderita oleh anak berusia <15 tahun, T1DM membuat penderitanya menjadi bergantung kepada terapi insulin eksogen sepanjang hidupnya. Kemampuan antibodi monoklonal anti-CD3 untuk menurunkan aktivasi sel T namun masih menjaga kemampuan immunomodulatorisnya membuat modalitas terapi ini menjadi modalitas yang menjanjikan. Meta-analisis ini bertujuan untuk menginvestigasi efek pemberian antibodi monoklonal anti-CD3 pada pasien diabetes mellitus tipe 1. Metode: Kajian sistematik dilakukan dengan mengikuti kaidah PRISMA dengan menggunakan pusat data daring yaitu PubMed, ScienceDirect, dan Cochrane. Studi yang menilai efek dari terapi antibodi monoklonal anti-CD3 pada pasien diabetes mellitus tipe 1 serta sesuai dengan kriteria inklusi dilibatkan dalam kajian sistemaik ini. Risiko bias setiap studi inklusi dinilai menggunakan kriteria CONSORT. Meta-analisis dengan metode random-effects selanjutnya dilakukan untuk mendapatkan Mean Difference (MD) gabungan dari seluruh studi inklusi beserta dengan 95% Confidence Interval (CI). Hasil: 10 studi yang melibatkan 1458 dilibatkan dalam kajian sistematik ini,. Ditemukan bahwa terapi anitbodi monoklonal anti-CD3 mampu menurunkan dosis kebutuhan insulin (MD -0.18 [95% CI: -0.22, -0.13],I2=59%, p<0,0001) dan kadar HbA1c (MD -0.71[95% CI: -1.18, -0.24], I2=78%, p=0.003). Selain itu, ditemukan juga bahwa terapi ini mampu meningkatkan respon peptida C Kesimpulan: Terapi antibodi monoklonal anti-CD3 menunjukkan efek positif terhadap kebutuhan insulin, kadar HbA1c, dan respon peptida C pada pasien diabetes mellitus tipe 1
Cidera otak atau cidera kepala merupakan kasus trauma ketiga paling sering ditemukan di indonesia dengan prevalensi sebesar 11,9% pada tahun 2018. Kerentanan terhadap infeksi yang meningkat pada kebanyakan kasus cidera otak membuat penggunaan antibiotik menjadi sangat masuk akal pada kasus – kasus tersebut. Salah satu antibiotik yang memiliki kemampuan penetrasi sawar darah-otak yang terbukti sangat baik adalah ceftriaxone. Baru – baru ini, mulai dilakukan penelitian yang membahas tentang efek neuroprotektif dari ceftriaxone terhadap cidera otak yaitu meningkatkan ekspresi GLT-1 yang menguatkan rasional pemberian ceftriaxone pada kasus cidera otak. Namun, belum ada kajian mengenai efektivitasnya belum ditemui. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas pemberian ceftriaxone terhadap peningkatan kadar GLT-1 pada kasus cidera otak. Metode penulisan dilakukan dengan kajian sistematik menelusuri berbagai pusat data daring mengikuti alur dan kaidah pencarian PRISMA guna mencari studi-studi yang menguji kemampuan dari ceftriaxone dalam meningkatkan kadar GLT-1 pada kasus cidera otak. Kajian ini melibatkan 5 studi inklusi dari total 722 studi dengan total subjek sebanyak 362 sampel. Berdasarkan studi inklusi tersebut, didapatkan bahwa Pemberian ceftriaxone (200mg/kgBB) terbukti efektif dalam meningkatkan kadar GLT-1 1-7 hari post-trauma jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Edema serebral juga mengalami perbaikan pada kelompok yang diberikan ceftriaxone jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, didapatkan juga peningkatan kemampuan pembelajaran dan daya ingat post-trauma pada kelompok intervensi. Tidak ada efek samping signifikan yang dilaporkan
Pendahuluan: Pandemi COVID-19 memberikan dampak yang sangat besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Perubahan tersebut terbukti telah menjadi faktor risiko terjadinya gangguan mental, salah satunya adalah depresi. Berbagai upaya yang telah dilakukan sangat terfokus pada upaya kuratif saja dan hanya sebagian kecil yang berfokus pada upaya preventif terjadinya depresi. Metode: Tinjauan pustaka ini bersumber dari berbagai bentuk artikel yang didapatkan dari portal publikasi dari yaitu National Center fo Biotechnology Information (NCBI), Garba Rujukan Digital (GARUDA), serta Google Scholar. Pembahasan: Berbagai penelitian telah menduga dan membuktikan bahwa terdapat hubungan antara mikrobiota pada saluran cerna dengan sistem saraf pusat yang disebut sebagai gut-brain axis (GBA). Mikrobiota pada saluran cerna memainkan peran kunci dalam menjaga homeostasis GBA dan keterkaitannya dengan kesehatan mental seseorang. Konsumsi probiotik merupakan satu dari sekian upaya yang bisa seseorang lakukan untuk menjaga homeostasis tersebut dalam upaya menjaga kesehatan mentalnya. Terbuat dari teh, gula, dan Symbiotic Culture of Bacteria and Yeasts (SCOBY), kombucha merupakan minuman terfermentasi yang telah terbukti memberikan dampak positif terhadap mikrobiota saluran cerna dengan lebih dari 50 probiotik dan molekul lain. Simpulan: Pendayagunaan kombucha untuk menjaga GBA memiliki potensi untuk menyempurnakan upaya penanggulangan depresi terutama dalam aspek preventif
ABSTRAK Pendahuluan: Selama pandemi COVID-19, terjadi peningkatan kebiasaan gaya hidup yang tidak sehat terutama gaya hidup sedentari yang meningkatkan risiko terkait penyakit kardiometabolik. Salah satu penyakit yang memiliki hubungan erat dengan gaya hidup sedentarisme adalah Penyakit Jantung Koroner (PJK). PJK adalah penyebab kematian paling umum penyakit kardiovaskular dengan 12% dari semua kematian di seluruh dunia. Terapi Percutaneous coronary intervention (PCI) pada fase akut infark miokard dapat mengurangi luas infark, tetapi akibat adanya cedera reperfusi membatasi efikasi terapeutiknya. Metode: Metode yang digunakan dalam penulisan tinjauan pustaka ini adalah dengan pencarian dan tinjauan literatur dari berbagai pusat data daring dan search engine. Pencarian dilakukan dengan menggunakan kata kunci “pitavastatin”, “drug delivery system”, “nanoparticle”, “PLGA”, “myocardial infarction”, “ischemic-reperfusion injury”. Dari hasil pencarian literatur, 34 literatur relevan dan digunakan untuk tinjauan pustaka ini. Pembahasan: Pitavastatin merupakan statin yang memiliki efek signifikan terhadap perubahan pada LDL-C, TG, dan HDL-C. Selain itu, pitavastatin juga memiliki efek kardioprotektif pada cedera iskemia reperfusi dengan menurunkan stres oksidatif dan meningkatkan antioksidan intraseluler. Nanopartikel PLGA mampu meningkatkan efek terapeutik, dari pitavastatin, terutama untuk cedera iskemik- reperfusi dengan sistem penghantaran zat aktif yang cepat dan efek anti-inflamasi yang dimilikinya. Simpulan: Pitavastatin yang dienkapsulasi dengan nanopartikel PLGA mampu mencegah terjadinya cedera iskemik-reperfusi miokardial pada pasien infark miokard. Tindakan pencegahan untuk cedera iskemik-reperfusi miokardial yang seringkali mengalami hambatan dalam penghantaran obat akibat durasi yang tersedia sangat singkat dapat diatasi dengan nanopartikel PLGA.
scite is a Brooklyn-based organization that helps researchers better discover and understand research articles through Smart Citations–citations that display the context of the citation and describe whether the article provides supporting or contrasting evidence. scite is used by students and researchers from around the world and is funded in part by the National Science Foundation and the National Institute on Drug Abuse of the National Institutes of Health.
hi@scite.ai
10624 S. Eastern Ave., Ste. A-614
Henderson, NV 89052, USA
Copyright © 2024 scite LLC. All rights reserved.
Made with 💙 for researchers
Part of the Research Solutions Family.