2019
DOI: 10.22219/kembara.vol5.no1.40-52
|View full text |Cite
|
Sign up to set email alerts
|

Wacana Romantisme Dalam Sejarah Sastra Indonesia Periode Kolonial Belanda (1900-1942)

Abstract: Sejarah sastra Indonesia didominasi oleh wacana estetik romantik atau materialisme. Hal ini memengaruhi cara pandang terhadap kesastaraan Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk melihat pembentukan dan persebaran wacana estetika romantik dalam sejarah sastra Indonesia. Teori yang digunakan adalah wacana dan kuasa dari Foucault. Objek kajian yang digunakan adalah wacana dan kuasa dalam sejarah sastra Indonesia, terutama wacana estetika romantisme. Hasil yang diperoleh adalah bahwa wacana estetika romantisme dan … Show more

Help me understand this report

Search citation statements

Order By: Relevance

Paper Sections

Select...
2
1
1

Citation Types

0
0
0
3

Year Published

2021
2021
2023
2023

Publication Types

Select...
3

Relationship

1
2

Authors

Journals

citations
Cited by 3 publications
(4 citation statements)
references
References 12 publications
0
0
0
3
Order By: Relevance
“…Foulcher (2012) mencatat bahwa pada periode (1950-1960an), konfrontasi terkait budaya Indonesia digunakan sebagai strategi untuk menanggapi situasi politik nasional dan internasional yang ada. Misalnya, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) menjadi alat politik PNI, Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) menjadi alat Partai Indonesia (Partindo), Lembaga Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) menjadi alat Nahdhatul Ulama (NU), Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (Leksi) menjadi alat Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) menjadi alat Masyumi, Lembaga Kebudayaan Seni Muslim Indonesia (Laksmi) menjadi alat Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menjadi alat PKI (Susanto, 2018). Di antara lembaga-lembaga kebudayaan pada masa itu, Lekralah yang paling mendapat perhatian masyarakat khususnya para seniman dan budayawan Indonesia.…”
Section: A Pendahuluanunclassified
“…Foulcher (2012) mencatat bahwa pada periode (1950-1960an), konfrontasi terkait budaya Indonesia digunakan sebagai strategi untuk menanggapi situasi politik nasional dan internasional yang ada. Misalnya, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) menjadi alat politik PNI, Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) menjadi alat Partai Indonesia (Partindo), Lembaga Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) menjadi alat Nahdhatul Ulama (NU), Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (Leksi) menjadi alat Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) menjadi alat Masyumi, Lembaga Kebudayaan Seni Muslim Indonesia (Laksmi) menjadi alat Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menjadi alat PKI (Susanto, 2018). Di antara lembaga-lembaga kebudayaan pada masa itu, Lekralah yang paling mendapat perhatian masyarakat khususnya para seniman dan budayawan Indonesia.…”
Section: A Pendahuluanunclassified
“…Hasil daripada pendidikan tersebut dapat dilihat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia dan sekaligus buku bacaan untuk kanak-kanak seperti yang diterbitkan oleh Balai Pustaka melalui sayembara. Buku-buku tersebut tentu saja sebagai sebahagian lanjutan wacana versi Orde Baru untuk menekankan sastera Islam kanak-kanak (Susanto & Wati, 2019).…”
Section: Metod Penelitianunclassified
“…Hal ini boleh dilihat berdasarkan kes-kes buku-buku atau naskah dari Pramoedya Ananta Toer, yang menjadi simbol dari tentangan ketika itu (Toer, 1981) tercetus pada sastera Islam. Sebagai akibatnya, sastera Islam mengubah dirinya atau keberadaanya dalam konteks sastera profetik atau sastera sufistik (Susanto & Wati, 2019). Keadaan ini pada hakikatnya sebagai akibat pendisiplinan atau pembatasan konsep sastera, yang berakibat pada estetika Islam.…”
Section: Disiplin Dan Pembatasan Sastera Anak Islamiunclassified
“…Karya sastra yang ditulis oleh pengarang Indonesia, baik era kolonial, maupun pascakolonial telah mempresentasikan beragam permasalahan masyarakat Indonesia. Masalah tersebut antara lain kesenjangan sosial karena kolonialisme (Farida & Andalas, 2019), penindasan, serta romantika percintaan dalam konstelasi budaya penjajah (Susanto & Wati, 2019;Setiawan, 2019) mimikri, ambivalensi, serta resistensi pribumi terhadap penjajahan Jepang (Ningrum, Waluyo, & Winarni, 2017). Diantara karya sastra yang mempresentasikan permasalahan tersebut adalah trilogi Bumi Manusia dan Perburuan (Pramoedya Ananta Toer), Mirah Dari Banda (Hanna Rambe), Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako (E. Rokajat Asura), Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer), serta cerpen-cerpen dari pengarang angkatan mutakhir.…”
Section: Pendahuluanunclassified