The Brantas River Crisis: the Sand Mining Problem and the Search for Solution

Abstract

This article examines the dynamics of power relations in the Brantas River sand mining and its influences on the fate of the most important river of East Java. The main questions to be dealt with here are: Why did the sand mining activities lead to the Brantas river crisis? What impact did the sand mining have on the environment and society? How was the Brantas river crisis due to sand mining handled to find a solution? By relying on archival sources, contemporary newspapers, and oral history interviews, it is argued that the Brantas river crisis occurred due to the acceleration of sand extractions facilitated by improved extraction technology in the form of mechanical sand extracting machines and the growing demand for sand for infrastructure development. Automated sand mining caused damage to infrastructure and settlements in various places along the river from downstream areas that continue to creep upstream, as well as the loss of biodiversity richness. The search for a solution has been going on for some time but failed to stop mining and bring the Brantas River out of the crisis. The failure occurred not because of the absence of a legal umbrella, but the difficulty of implementing regulations in the field due to the involvement of unscrupulous officials and politicians in the Brantas sand business, as well as the temptation of large and comfortable profits from mining that lured sand miners amid the limited available alternative sources of livelihood. Artikel ini membahas dinamika relasi kuasa dalam penambangan pasir Sungai Brantas dan pengaruhnya terhadap nasib sungai terpenting di Jawa Timur ini. Pertanyaan utama yang hendak dibahas adalah: Mengapa kegiatan penambangan pasir menyebabkan krisis sungai Brantas? Apa dampak penambangan pasir terhadap lingkungan dan masyarakat? Bagaimana krisis sungai Brantas akibat penambangan pasir diupayakan jalan keluarnya? Dengan mengandalkan sumber arsip, surat kabar kontemporer, dan wawancara sejarah lisan, diargumentasikan bahwa krisis sungai Brantas terjadi karena percepatan ekstraksi pasir yang difasilitasi oleh perubahan teknologi ekstraksi dalam bentuk mesin diesel penyedot pasir mekanis dan meningkatnya permintaan akan pasir untuk pengembangan infrastruktur. Penambangan pasir mekanis menyebabkan kerusakan infrastruktur dan permukiman di berbagai tempat di sepanjang sungai dari daerah hilir yang terus merambat ke hulu, serta hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati. Pencarian solusi telah berlangsung selama beberapa waktu, tetapi gagal menghentikan penambangan dan membawa Sungai Brantas keluar dari krisis. Kegagalan itu terjadi bukan karena tidak adanya payung hukum, tetapi kesulitan menerapkan peraturan di lapangan karena keterlibatan pejabat dan politisi yang tidak bermoral dalam bisnis pasir Brantas, serta godaan keuntungan besar dan mudah dari penambangan. memancing para penambang pasir di tengah sumber mata pencaharian alternatif yang tersedia terbatas.

Struktur Sosial dan Pemerintahan Pada Masa Kesultanan Palembang Darussalam

“…Selain itu wilayah Kesultanan Palembang Darussalam juga meliputi Pulau Bangka dan Pulau Belitung yang mana kedua pulau ini juga merupakan penghasil komoditi terbesar bagi Kesultanan Palembang Darussalam pada masanya (Nawiyanto & Endrayadi, 2016) Kesultanan palembang dahulunya dapat dilihat sebagai pusat perdagangan, yang mana banyaknya kegiatan jika dilihat dari banyaknya aktivitas masyarakat pada waktu pagi hari hingga malam hari. Khususnya di pelabuhan yang terletak pada pusat Kota, banyak dijumpai kapal-kapal mulai dari kapal yang bersifat sederhana seperti rakit atau sampan, perahu-perahu dan kapal besar.…”

“…Namun terdapat perbedaan antara penduduk yang tinggal di pusat ibukota yakni Palembang dengan penduduk yang tinggal pada daerah pedalaman, yang mana penduduk di pusat ibukota ini telah memiliki banyk percampuran sehingga terdiri dari berbagai rumpun etnis yang berbeda. Sedangkan pada penduduk di daerah pedalaman itu merupakan penduduk asli daerah Palembang (Nawiyanto & Endrayadi, 2016) Pada awal mulanya hingga pada akhirnya masuk dan berkembangnya agama islam di Palembang ini sama sekali tidak membawa pengaruh ataupun perubahan di berbagai bidang tentunya. Contoh kecilnya yakni dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat tradisional sekitar yang masih menggunakan cara sederhana dalam memimpin, tidak ada perbedaanya sama sekali atau tidak berubah seperti yang dapat kita lihat pada buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan.…”

“…Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam Untuk tingkatan sosialnya pun dapat dilihat secara umum berdasarkan 3 tingkatan berbeda seperti Tingkatan Pemimpin yakni meliputi Sultan ataupun Raja, Tingkatan Terpandang yakni meliputi Para Kerabat ataupun Bangsawan, dan Tingkatan Bawah yakni meliputi para penduduk atau rakyat biasa (Sari et al, 2020) Disini letak wilayah dari Kesultanan juga sangat mempengaruhi pada struktur sosial, maksudnya terbaginya dua daerah yang dipisahkan oleh sungai terkhususnya pada ibukota kesultanan yakni Palembang. (Nawiyanto & Endrayadi, 2016).…”

“…(Sevenhoven, 1971) melukiskan bahwa Golongan budak juga kerap dikatakan sebagai golongan yang rendahan dan yang paling sengsara hidupnya. Budak ini juga merupakan layaknya barang dagangan, bahkan sempat dijadikan sebagai perdagangan lainnya (Nawiyanto & Endrayadi, 2016).…”

“…Dapat diketahui bahwa di wilayah Palembang ini berlaku pemahaman bahwa setiap tanah merupakan milik Sultan sepenuhnya, sedangkan bagi para penduduk hanyalah dianggap sebagai pemanfaat tanah dan penunggu dari tanah milik sultan ini. Sebagai gantinya seperti yang telah dijelaskan bahwa para penduduk harus membayar pajak kepada sultan (Nawiyanto & Endrayadi, 2016).…”