Storytelling as a Cultural Practice and Life Form

Abstract

Narrative is introduced as a cultural practice and life form which contributes to creating the foundation of our lives as it helps us to interpret the world, through stories, in which we must be able to act. Borrowed from Ricœur (Time and narrative: The configuration of time in fictional narrative (Vol. 2, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans). Chicago, IL: The University of Chicago Press (1985) and The course of recognition (D. Pellauer, Trans). Cambridge, MA: Harvard University Press (2005).), the concepts of time and space are presented as the contexts and products of narrative. The functions of storytelling are discussed under the heading of “technologies of Self-construction” (inspired by Foucault, Technologies of the self. In L. H. Martin, H. Gutman, & P. H. Hutton (Eds.), Technologies of the self: A seminar with Michel Foucault (pp. 16–49). Amherst, MA: The University of Massachusetts Press (1988).), which provide orientation, self-understanding, and transgression. These need to be developed within the constraints of social norms—so the theory goes—and yet subjects still have some room to move within the process of adopting norms (Butler, Giving an account of oneself. New York, NY: Fordham University Press (2005).).

Storytelling as an Educational Tool to Improve Language Acquisition: A Review of the Literature

“…We are all, in some way, fashioned by tales. Thus, narratives help us comprehend these worlds and our place in them (Schachtner, 2020). The definitions provided above are at odds with one another.…”

Musik dan Papua: Mengkaji Transformasi Konflik Intranegara dari Kearifan Budaya

“…Ketidakseragaman dalam naratif yang ada dalam musik-musik Papua mendemonstrasikan sebuah oportunitas diskursif untuk terus menopang naratif-naratif tertentu. Foucault memaparkan bahwa sebuah "resonansi kultural" (cultural resonance) merupakan bagian yang esensial untuk sebuah naratif dapat diterima oleh kalangan masyarakat tertentu (Schachtner, 2020). Di saat yang sama, adanya sebuah ketidaksamaan pesan merupakan bentuk dari disonansi kultural yang membuka untuk peluang diskursus-diskursus berlanjutnya agar dapat diukur secara kasar dalam kekuatan produktif yang Foucault anggap sebagai sebuah bentuk kualitatif dari seberapa kuatnya suatu naratif tertentu secara epistemik, kultural, dan sosial dalam rangka mencapai tujuan sebuah pihak yang diproduksikan melalui struktur-struktur kekuatan-pengetahuan yang ada sebagaimana dipaparkan sebelumnya mengenai episteme (Wiradnyana, 2018).…”