Pemuda, Perkawinan, dan Perubahan Sosial di Indonesia

Abstract

An examination into the changing patterns, meaning, norms, and discourses around marriage - in the context of transition to adulthood - offers a unique window to disentangle the complex processes of social change in post -Reformasi Indonesia. Among the many dimensions of social change affecting changing patterns of marriage and transition to adulthood include: globalization; demographic transition; trends in population mobility concerning migration and urbanization; economic uncertainties and inequality; and a series of contestation on norms around marriage and the family which has shadowed the political landscape post-Reformasi. How does such a complex process of social change shape the changing patterns and narratives on marriage? In particular, how do young people navigate the changing marriage patterns in the context of such complex, rapid, and massive social change? These two questions are pivotal to the current special issue in Jurnal Studi Pemuda. To provide context and highlights the contributions of the papers in this issue, this article reviews several dimensions and indicators of marriage and family change in Indonesia, and outlines their relation to the broader contexts of transition to adulthood and social change in the last two decades following Reformasi.

Eksistensi Tradisi Mertuq pada Masyarakat Sasak di Desa Wakan Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur

“…Pengobatan tradisional pada dasarnya merupakan cara pengobatan yang berasal dari pengalaman, keterampilan, turun temurun, yang terus diwariskan dan yang diterapkan berdasarkan norma yang berasal dari masyarakat (Utomo & Sutopo, 2020). Adapun bentuk-bentuk pengobatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat sasak salah satunya pengobatan tradisional mertuq.…”

Profil pasien Sectio Caesarea di rumah sakit umum daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2019

“…10 Peningkatan ini juga dikaitkan dengan usia perkawinan di Indonesia, yang mana rata-rata usia perkawinan pada wanita berada pada usia 20-34 tahun mencapai 89.4%. 11 Ibu dengan usia risiko tinggi juga kerap menyebabkan terjadinya kelahiran prematur, stillbirth, dan mortalitas lainnya yang berdampak pada kesehatan maternal dan fetal. Kelahiran prematur juga dinilai sebagai faktor risiko independen dimana hal ini menjadi risiko spesifik tertentu pada ibu yang dapat mengarah pada indikasi sectio caesarea.…”

Philosophy of Marriage as a Means of Family Building and Social Transformation

“…Hidup bersama dengan sepasang kekasih sebelum adanya ikatan pernikahan hal itu telah menjadi trend dikalangan tertentu. Adapun stigma hubungan di luar hubungan pernikahana masih terlihat kuat di Indonesia jika melihat hasil survei World Value Survey di Tahun 2017-2020 telah menunjukan bahwa 76, 5 % responden di Indonesia mengatakan hubungan sex sebelum menikah (Utomo, 2020). Fenomena seperti ini tampaknya lebih banyak terjadi di masyarakat yang begitu kompleks, meskipun tidak menutup kemungkinan gejala serupa terjadi di masyarakat pada umumnya yang sedang mengalami masa tranformasi.…”

“…Yang kedua, seiring dengan yang pertama, tren penundaan pernikahan dengan meningkatnya rata-rata umur pernikahan, ketiga telah terjadi pergeseran pola dalam proses dan praktik pemilihan pasangan. Dimana kaum muda memeliki banyak agensi untuk menentukan pasangan hidup mereka dibanding generasi terdahulu (Sutopo, 2020).…”

“…Namun berdasarkan tren yang sudah ada, baik persentasi muda berumur 30-34. (Utomo, 2020) Pada prinsipnya kehidupan melajang bisa jadi suatu pilihan hidup ataupun keterpaksaan akibat belum adanya pasangan yang sesuai. Kehidupan melajang ini juga dapat menimbulkan perasaan kesepian karena kurangnya dukungan sosial, sehingga dalam hal ini dapat mempengarhi terhadap kebahagian dalam menjalani kehidupan.…”