Indonesia memiliki potensi yang besar atas ekonomi digital karena tingkat penetrasi pengguna internetnya terus meningkat. Akan tetapi timbul permasalahan dalam perpajakan yang mana ekonomi digital digolongkan dalam sektor yang sulit dipajaki (hard-to-tax sectors). Indonesia telah menerbitkan PMK 48/PMK.03/2020 sebagai respons atas pemajakan ekonomi digital, tetapi menurut peneliti peraturan tersebut belum cukup untuk memperluas basis pemajakan atas ekonomi digital. Dalam penelitian ini hal yang menjadi tujuan peneliti adalah mengetahui cakupan dalam ekonomi digital untuk keperluan basis pemajakan, melakukan komparasi perlakuan perpajakan atas ekonomi digital, serta memberikan alternatif kebijakan perpajakan yang dapat ditempuh dalam merespons ekonomi digital. Berdasarkan hasil penelitian, ruang lingkup ekonomi digital yang paling tepat untuk dijadikan acuan adalah model menurut OECD, Barefoot et al., dan digitalised economy menurut Bukht & Heeks. Hasil komparasi dengan negara lain menenunjukkan sebagian negara membuat aturan khusus terkait pajak ekonomi digital dengan memberlakukan Digital Service Tax (DST). Alternatif kebijakan yang dapat diterapkan Indonesia untuk ekonomi digital antara lain: memperkuat sinergi antar otoritas terkait, melakukan pendalaman terhadap entitas yang diduga melakukan transaksi mencurigakan, mengenakan pajak langsung dan pajak tidak langsung terhadap ekonomi digital, dan memperluas dan mempertegas aturan pajak yang sudah ada untuk aspek ekonomi digital, daripada memberlakukan jenis pajak baru.