Kajian Model Kesenjangan Kajian Model Kesenjangan Ekonomi Wilayah Di Kawasan Aglomerasi Malang Raya

Abstract

Kondisi dan potensi setiap wilayah sangat beragam dengan karakteristik masing- masing. Hal ini menjadikan tingkat tumbuh dan berkembangnya suatu wilayah menjadi berbeda- beda. Karena perbedaan kondisi wilayah sehingga tingkat tumbuh dan berkembangnya wilayah menjadi berbeda maka kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan kecepatan pengembangan dan pembangunan wilayah atau yang disebut disparitas/ kesenjangan. Kesenjangan akan menjadi masalah bila terjadi kesenjangan yang terlalu besar dan disebabkan oleh sistem pembangunan yang salah, sehingga dapat menjadi penyebab munculnya keresahan, ketidakpuasan dan bahkan sampai timbul aksi dari sekelompok masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI. Permasalahan mendasar pada pengembangan wilayah di Kawasan Metropolitan terutama Malang Raya adalah kesenjangan antara daerah dimana pembangunan di monosentris, terpusat pada Kota Malang. Menanggapi kondisi demikian, dibutuhkan perumusan model kesenjangan wilayah di Malang Raya, untuk mengetahui sejauh mana pemusatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah di Malang Raya. Selain itu diharapkan melalui perumusan model kesenjangan wilayah mampu menjadi acuan sehingga arahan dapat meminimalkan kesenjangan wilayah di Malang Raya

Isometric Digital Tourism Map as Sustainable Development of Bendosari Ecotourism Village

“…Malang, which is famous as a city that has various tourist attractions that tourists can visit, has great potential to develop its tourist locations [2]. Several factors influence the economic gap in the Malang region, namely GRDP (Gross Regional Domestic Product), investment allocation, low level of mobility of production factors between regions, and differences in demographic conditions between regions [3]. In order to encourage the achievement of the government's targets for decent work and community economic growth contained in the 2030 SDGs targets, efforts are needed to reduce the level of economic inequality in Indonesian society [4].…”