Digital Failures in Abolitionist Ethnography

Abstract

In an era when grassroots activism is defined by the use of social media, the democratic potentials of the Internet are constantly confronted by a shifting set of practical and political obstacles. Organizations seeking to abolish violent policing, for example, use social media to mobilize widespread support, but can fail to solidify lasting influence within government institutions. Similarly, twenty-first-century ethnographers have gained the ability to interact with grassroots organizations over social media, but often fail to gain insight into a movement's internal politics or day-to-day struggles. This article focuses on the challenges of anti-violence activists in Brazilian favelas following the 2016 Rio de Janeiro Olympics. The author explores how ethnographers can create a sense of continuity out of digital failure.

Aktivisme digital kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual

“…Menimbang perlunya kebijakan yang mengatur mengenai kekerasan seksual di perguruan tinggi, kebijakan ini tetap dipertahankan dan hingga kini sudah mulai diimplementasikan sebagai bahan rujukan penyusunan kebijakan di tingkat perguruan tinggi. Sehingga dengan demikian, dapat dipahami bahwa aktivisme digital yang dilakukan di media sosial tidak selamanya berhasil mencapai tujuannya untuk mempengaruhi kebijakan, namun juga dapat menciptakan blind spots yang mengaburkan visi sebuah gerakan sehingga berdampak pada kegagalan gerakan (Scott, 2021).…”

“…Penelitian ini memberikan respons terhadap penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa aktivisme digital dalam bentuk gerakan sosial dan protes dapat mempengaruhi proses kebijakan publik, mulai dari penentuan agenda, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, hingga evaluasi kebijakan (Silva, 2015). Namun, ada penelitian terdahulu yang juga menyatakan bahwa media sosial selain berperan dalam aktivisme digital, juga dapat menciptakan blind spots yang justru mengaburkan visi gerakan dan menunjukkan kegagalan (Scott, 2021). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk merespons apakah fenomena aktivisme digital terkait kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi mampu mempengaruhi proses kebijakan atau justru menunjukkan kegagalan dalam mencapai tujuan.…”