Coping Versus Grieving in a ‘Death-accepting’ Society: AIDS-Bereaved Women Living with HIV in Indonesia

Abstract

The aim of this study was to understand how AIDS-bereaved women in Indonesia cope in a society where death is believed to be fated. Data analyses were conducted based on the women’s interview transcripts and journal entries. Each of the women experienced at least three traumatic life events. The most challenging experience was learning that they have contracted a disease they regarded as associated with prostitution. Given the short lapse of time between their husbands’ deaths and learning about their seropositivity, biographical disruption appeared to have acted as an ‘analgesic’, while concerns to protect their children seemed to have triggered biographical reinforcement. This phenomenon may have brought about a positive bereavement outcome. Specific counselling programmes for women affected by HIV/AIDS are needed, but emphasis should first be placed on improving their wellbeing and their perception of stigma.

Factors Influencing Hiv Knowledge Among Women of Childbearing Age in South Sumatra, Indonesia

“…Without any intervention, it is predicted around 8,604 babies born with HIV will cost 42 billion Rupiah to care for annually (3) . Unfortunately, previous studies have found HIVpositive mothers in Indonesia typically find out about their HIV status long after they become infected, often when their children or husband becomes ill due to HIV/AIDS or when they are asked for a blood test during pregnancy (4)(5)(6) .…”

Berduka Pada Perempuan Hiv Positif

“…Ibu rumah tangga cenderung tidak mengetahui jika suaminya terinfeksi HIV positif sehingga dapat mengakibatkan penyangkalan ketika dirinya pun terinfeksi HIV positif dari suami. Kondisi demikian sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa perempuan baru mengetahui dirinya terinfeksi HIV positif dari suaminya setelah suaminya terjangkit AIDS dan menyebabkan sikap marah dan menyangkal (Damar & du Plessis, 2010).…”

“…Kondisi demikian dapat disebabkan karena perempuan cenderung menahan kemarahannya dan memilih untuk melanjutkan tugas merawat suami dan anaknya. Penelitian sebelumnya menyebutkan norma di masyarakat mewajibkan perempuan untuk mengabdi kepada suami termasuk merawat suami yang sakit, oleh karena itu mayoritas perempuan merasa tidak tepat untuk meluapkan kemarahannya kepada suami yang terbaring tidak berdaya karena AIDS (Damar & du Plessis, 2010).…”

“…Walulu (2007) menyatakan memiliki anak merupakan motivasi utama bagi perempuan HIV untuk serius merawat diri mereka sendiri, hidup sehat dan positif sehingga dapat merawat anak mereka sebaik mungkin kemudian. Perempuan HIV lebih memikirkan siapa yang akan merawat anaknya nanti apabila mereka sakit daripada terus dihinggapi kemarahan dan kesedihan (Damar & du Plessis, 2010).…”

“…Selain karena nilai merawat keluarga, perempuan juga memiliki nilai menerima keadaan yang disebut dengan takdir. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa perempuan HIV positif awalnya bereaksi marah mempertanyakan Tuhan mengenai takdir namun akhirnya perempuan meresapi dan menerima takdir Tuhan yang tidak bisa diubah (Damar & du Plessis, 2010;Kaplan, 2011).…”