A Journey in Indonesian Regional Autonomy: The Complications of “Traditional” Village Revival in Mentawai, West Sumatra

Abstract

This article aims to show the development of local identities and of local government political interests, as captured by clans and élite groups in Mentawai, West Sumatra, Indonesia.An ethnographic analysis was made of those islands in the Indian Ocean, which contain a high diversity of clan dialects/ languages and new élite groups that have emerged as a result of young academic Mentawaians returning from the mainland.MASKOTA DELFI completed her Ph.D. at the Faculty of Cultural Sciences at Gadjah Mada University, Indonesia. She was a visiting scholar at Flinders University in Adelaide, Australia, and completed library research at KITLV in Leiden, The Netherlands. She is associated with Andalas University, and her main research interest includes ethno-medicine, food security, and traditional tattoos. As part of a national research orientation, she was also in the Indonesian part of Borneo, where she investigated food traditions, shifting cultivation, and land management of several Dayak groups. <maskotadelfi@gmail.com> JOHAN WEINTRÉ has recently submitted his doctoral thesis at the Flinders University Asia Centre in Australia, with a research focus on natural resources, social capital, and governance in Indonesia. As a previous visiting guest lecturer in Indonesia and former associate at several research institutions, he has been able to visit several remote locations in the archipelago. His research interests are focused on small communities, to investigate their self-developed resource management systems and governance structures, which have evolved from their particular environment and social settings. <johan.

Sago and Rice are Ambiguous: Food Security Under the Food Hood of Development Discourse in Mentawai Islands

“…Siberutans have a habit of farming and gardening and making traditional houses (uma) around them. So when there is resettlement (PKMT), it keeps them away from their fields and gardens (Delfi & Weintré, 2014b, 2014a. Coupled with the insistence of TNS (Siberut National Park) forest conservation and HPH (Forest Concession Rights) and HTI (Industrial Plantation Forest) that further degrade the Mentawai living space (Darmanto & Setyowati, 2012).…”

Ketahanan Pangan Orang Mentawai di Bawah Tudung Saji Pembangunan

“…Sebagai sumber makanan dan gizi, satu batang sagu mengandung 400-600 kg pati dan satu hektare ladang sagu siap panen menghasilkan sekitar 15 ton pati per tahun (Persoon, 1992). Di sisi lain, sagu bukan hanya dijadikan sebagai makanan bagi orang Mentawai, melainkan juga berkaitan erat dengan kebudayaan yang mereka jalankan selama ini demi melangsungkan kehidupan (Delfi & Weintré, 2014a;Mitra & 5 Kelompok adat atau penganut agama tradisional seperti sikerei tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif, karena dianggap "nonreligius", sedangkan segala bentuk pelayanan publik sering kali menjadikan agama sebagai "kunci". Artinya tanpa menyebut "agama resmi", orang akan kesulitan memperoleh hak-hak sipil, seperti pelayanan untuk mendapatkan KTP (Kartu Tanda Penduduk), catatan pernikahan, dan sebagainya.…”

“…Rumah-rumah resettlement 9 ini adalah rumah yang dibangun oleh pemerintah maka harus mengikuti aturan pemerintah. Program ini ada dalam misi PKMT (Pembinaan Kembali Masyarakat Terasing) yang dimulai sejak tahun 1972 di Siberut (Delfi & Weintré, 2014a). Per untukan telemen ini untuk membina "masyarakat terasing" Mentawai dengan aturan-aturan pemerintah.…”

“…Kondisi ini menunjukkan bahwa sagu juga dapat menambah Pertama, pembangunan birokrasi dan pemerintah daerah diintervensi dengan konsep desa yang didasari dari kebijakan otonomi daerah 1 . Karena dianggap suku terasing, orang Mentawai harus dikumpulkan (dimukimkan) dengan konsep Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) dan resettlment atau barasi (Amir, 1994;Darmanto & Setyowati, 2012;Delfi & Weintré, 2014a). Kebijakan itu juga berujung pada penghapusan kepercayaan lokal mereka (Coronese, 1986;Glossanto, 2023;Nur, 2019;Sihombing et al, 2008;Sihombing, 1979;Tulius, 2018;Tulius & Burman-Hall, 2022;Yolanda & Willis, 2018;Yulia & Naldi, 2018).…”

“…Hal tersebut juga dilihat dari adanya beberapa program penyediaan beras oleh pemerintah. Pada tahun 2017, muncul program Rastra (Beras Sejahtera) yang didistribusikan kepada masyarakat ekonomi lemah (Delfi, 2005(Delfi, , 2018(Delfi, , 2011Delfi & Weintré, 2014a). Selain itu, pemerintah melakukan program bernama Raskin (Beras Miskin) yang sempat diwarnai dengan penolakan di Kepulauan Mentawai, serta program cetak sawah seluas 1.000 ha yang dimulai pada tahun 2014.…”