Popular Music as Local Culture: An Ethnographic Study of the Album<i>Matha Wa!</i>by the Band Paramana Strangers from Papua New Guinea

Wilson, Oli

doi:10.1080/08145857.2013.844516

Cited by 4 publications

(3 citation statements)

References 18 publications

Supporting

Mentioning

Contrasting

Order By: Relevance

“…This article's analysis thus focuses on the sustainability of music (not broader cultural sustainability, for sake of space). It extends work on music sustainability that observes musical practices used beyond their original contexts (Howard 2016;Wilson 2013), and what can be learned about music sustainability from recontextualisation. It builds on studies about what makes musical cultures sustainable (Schippers and Grant 2016b;Turino 2009), and what cultural advocates can do to keep music sustainable (Bendrups and Schippers 2015;Grant 2014;Titon 2015).…”

Section: Introductionmentioning

confidence: 71%

Sustainability and Indigenous Aesthetics: Musical Resilience in Sámi and Indigenous Canadian Theatre

Harrison¹

2019

yearb. tradit. music

View full text Add to dashboard Cite

Histories of colonial cultural erasure, unsuccessful decolonisation or postcolonialism and rapid modernisation are typically seen as the challenges to sustaining Indigenous traditional musics (Harrison, in press). The Indigenous peoples of Canada have experienced colonial assimilationist policies of government and church, including residential schools that took children away from their families and forbade song, dance and language. These policies resulted in musics and even entire cultures being erased. Although there have been recent improvements in Scandinavia, similar kinds of discrimination happened where the traditional Sámi vocal form, joik (in pan-Sámi juoiggas) was long (and in some cases, still is) regarded as sinful, and Sámi children were forbidden to use their mother tongues at school (for example, from about 1850 to 1980 during Norway’s Fornorskning or Norwegianisation policy). In recent years, the Indigenous musics of Canada and the Nordic countries, among others, have reflected, articulated and interpellated sociocultural interrelations and politics (Diamond 2002; Diamond et al. 2018; Harrison 2009; Hilder 2012, 2015; Moisala 2007; Ramnarine 2009, 2017), and Indigenous artists have taken action on politicised issues through a range of contemporary and flourishing artistic expressions (Robinson and Martin 2016).

show abstract

Section: Introductionmentioning

confidence: 71%

Sustainability and Indigenous Aesthetics: Musical Resilience in Sámi and Indigenous Canadian Theatre

Harrison¹

2019

yearb. tradit. music

View full text Add to dashboard Cite

show abstract

“…Melanjutkan pertentangan pandangan Merriam dengan dilema tersebut, Wilson (2013) justru melihat budaya lokal (dalam hal ini gitar tunggal) perlu didorong untuk menjadi musik populer melalui perekaman dan komersialisasi yang baik. Karena menurut Wilson, kedua hal itu sangat penting dalam mekanisme pelestarian budaya.…”

Section: Kontribusi Gitar Tunggal Dalam Membentuk Wacana Pendidikan M...unclassified

Gitar Tunggal Lampung Pesisir: Sebuah Identitas Dan Lanskap Pendidikan Musik Informal Yang Berbasis Kelokalan

Riyan Hidayatullah

2024

View full text Add to dashboard Cite

Gitar tunggal Lampung terdiri atas dua gaya, yakni pesisir dan pepadun. Diantara kedua gaya tersebut, peneliti melihat fakta-fakta unik yang terjadi pada gitar tunggal bergaya pesisir. Terdapat praktik sosial dan transmisi musik yang menonjolkan gaya ‘lokal.’ Gitar tunggal Lampung pesisir sebagai sebuah kesenian memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi di mana musik itu dianggap sebagai musik pop daerah Lampung yang menyebar melalui ruang budaya massa. Kedua, gitar tunggal befungsi sebagai identitas musik dawai masyarakat Lampung pesisir. Sebelum gitar tunggal bergaya pesisir muncul dan dikonsumsi oleh masyarakat Lampung, musik gambus tunggal lebih dulu populer. Gitar tunggal bergaya pesisir mulai dikenal setelah Hila Hambala—salah seorang tokoh musik dawai Lampung—mulai mengonstruksi musik tersebut. Hila Hambala terinspirasi dengan permainan musik batanghari sembilan dari Sumatera Selatan. Selain itu Hila berusaha menggabungkan teknik petikan gambus tunggal dengan pola permainan batanghari sembilan. Di dalam praktik sosial dan musikalnya, gitar tunggal Lampung pesisir juga ditularkan dengan proses transmisi musik secara informal. Masyarakat lokal umumnya mempelajari gitar tunggal di lingkungan keluarga, pertemanan, hingga masuk ke era digital. Hampir seluruh proses belajar itu terjadi secara mandiri melalui transkripsi musik yang menyesuaikan kondisi pemain. Meskipun proses belajar terjadi secara mandri dan informal, kenyataannya pola semacam itu efektif dan masih digunakan hingga saat ini. Praktik belajar musik itu juga dikenal dengan pola belajar improvisatoris, yakni sebuah pola pembelajaran yang menekankan pada otoritas pembelajar. Tidak ada kurikulum yang bersifat sistematis, karena proses belajar dilakukan secara mandiri dengan mengandalkan pemahaman dan kreativitas para pemain. Gitar tunggal Lampung Pesisir dalam buku ini diposisikan sebagai objek material sedangkan esensi penulisannya lebih menekankan pada aspek pendidikan informal yang berbasis kelokalan (Lampung). Selain itu, penulis juga berusaha menguraikan lanskap musik dalam sudut pandang sosio-kultural yang memiliki bentuk, fungsi, dan nilai. Dengan sudut pandang dan gaya pemaparan dalam buku ini, diharapkan penulis dapat memberikan referensi lain tentang praktik pendidikan musik di masyarakat. Selama ini, studi pendidikan musik lebih banyak berfokus pada wilayah formal, sedangkan ruang informal cenderung lepas dari perhatian. Padahal, praktik penularan musik secara informal jumlahnya lebih banyak terjadi di lingkungan sekitar. Dengan memotret praktik pembelajaran dan transmisi musik, penulis berharap dapat memberikan wacana diskusi baru tentang pendidikan musik di Indonesia.

show abstract

“…1 Love also features in 'love songs' in PNG but here I will focus on the language of love in relation to love magic and romantic or companionate love (see Harrison, 1986;Wilson, 2013). 2 The passing of the Family Protection Bill through the National Executive Council in September 2013, which criminalises domestic violence, has been central to ongoing discussions about intimacy, love, relationships and sexuality in PNG.…”

Section: Endnotesmentioning

confidence: 99%

Online dating profiles, shifting intimacies and the language of love in Papua New Guinea

Dundon

2021

Australian J of Anthropology

View full text Add to dashboard Cite

show abstract

Popular Music as Local Culture: An Ethnographic Study of the AlbumMatha Wa!by the Band Paramana Strangers from Papua New Guinea

Cited by 4 publications

References 18 publications

Sustainability and Indigenous Aesthetics: Musical Resilience in Sámi and Indigenous Canadian Theatre

Sustainability and Indigenous Aesthetics: Musical Resilience in Sámi and Indigenous Canadian Theatre

Gitar Tunggal Lampung Pesisir: Sebuah Identitas Dan Lanskap Pendidikan Musik Informal Yang Berbasis Kelokalan

Online dating profiles, shifting intimacies and the language of love in Papua New Guinea

Contact Info

Product

Resources

About