About 60% of the rice produced in Indonesia is grown in the fertile soils of the island of Java. Introduction of the high-yielding rice varieties and improvement of cultural technique have increased rice production, and self-sufficiency was attained in 1984. However, increasing population and decreasing land for rice cultivation could threaten the food supply in the country. Rice production is also threatened by interannual climate variability and possible climate change. To provide policymakers and planners with information to formulate a strategy to cope with interannual climate variability and the possible climate change, rice yields of 2 production areas on Java were simulated using the DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer) rice growth simulation model. The crop model predicted lower rice yields for different management options, compared with experiment plots, but predicted yields similar to or slightly higher than the farmers' yield. In general, the predictions relate quite well. The GISS, GFDL, and UKMO climate models predicted higher rainfall, solar radiation, and temperature in both locations. In the higher rainfall and lower temperature of the West Java site, the climate change scenarios reduced rice grain yield in both the first and second crops. During normal years in the relatively warmer and dryer climate of the East Java site, there was no significant yield reduction due to climate change, except under the UKMO scenario in the second crop. Because high temperature and CO 2 concentration favor rice growth, development of more heat-tolerant varieties probably can compensate for the yield losses due to climate change in the future. Except for the GISS and GFDL climate scenarios in the first crop and the baseline climate scenario in the second crop in the West Java site, higher yield losses were predicted because of interannual climate variability. Since the dry spell threat is more imminent and frequent, to improve preparedness a short-term climate prediction for the tropical region is urgently needed.

Data dan informasi sumber daya air dalam suatu kawasan dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan teknologi pengelolaan air yang tepat sehingga dapat menjamin keberlanjutan ketersediaan sumber daya airnya. Teknologi pengelolaan air tersebut perlu diaplikasikan pada skala petani untuk menjawab permasalahan aktual di lapangan. Penelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan Januari sampai dengan Desember 2015 dengan tujuan untuk mengetahui ketersediaan dan kebutuhan air irigasi pada budidaya padi dan jagung di Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan melalui beberapa tahapan yaitu: a) persiapan dan pengumpulan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dan peta sebaran daerah irigasi, b) survei dan pengumpulan data lapang, dan c) analisis data dan pemetaan. Ketersediaan air irigasi diketahui melalui pemodelan hidrologi menggunakan model Integrated Flood Analysis System (IFAS), sedangkan kebutuhan air ditentukan berdasarkan kebutuhan air tanaman padi dan jagung pada satu siklus pertanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 4 golongan ketersediaan irigasi (1-4) dengan debit air antara <0,3 sampai >0,9 l dt-1 ha-1 , dan 4 indeks kecukupan irigasi A1 sampai A4, yaitu wilayah yang memiliki IP (indeks pertanaman) 300 dengan pola tanam berturut-turut padi-padi-padi; padi-padi-palawija; padi-palawija-palawija; dan palawija-palawija-palawija. Studi kasus di lima kabupaten yaitu: Gowa, Jeneponto, Kota Makasar, Maros dan Takalar menunjukkan bahwa di kelima kabupaten tersebut dengan 31 kecamatan memiliki indeks kecukupan irigasi A1. Ini berarti bahwa di semua kabupaten dan kecamatan areal penelitian ini dapat diterapkan pola tanam padi-padi-padi.

In the upper catchments of Southeast Asia, land use change from forest to agricultural systems generated land degradation and conflicts between uplanders and lowlanders. More sustainable cropping systems are proposed to upper‐catchment farmers. Grass fodder strip (GFS) is an effective anti‐erosion practice, and it involves lower costs for farmers. However, labour and cash constraints are sometimes preventing farmers to implement it. To evaluate farms' current impact and adaptation capacities, we need a comprehensive understanding of farm and farm household characteristics that influence their activities. This paper proposes an approach that combines farm household surveys and modelling of farm erosion yield to help project planners and policy makers to identify such farmers in a data‐scarce environment. We developed two farm typologies—one based on both farm and farm household characteristics and one based on their erosion yield and constraints. We calculated erosion yields on plot level by using revised universal soil loss equation method and identified their constraints. We found that a typology based on farm constraints and calculated farm erosion was a good complement to identify farmers who are generating the highest erosion yields and would be able to change their production systems. This methodology is mainly useful at the beginning of conservation projects, when very few hard data are available. Copyright © 2016 John Wiley & Sons, Ltd.

ABSTRAK Reklamasi gambut untuk pertanian memerlukan jaringan drainase makro yang dapat mengendalikan tata air dalam satu wilayah dan drainase mikro untuk mengendalikan tata air di tingkat lahan. Elevasi muka air harus dipertahankan secara optimal. Tidak terlalu dalam agar tanaman tidak mengalami kekeringan dan tidak terlalu dangkal agar tanaman tidak tergenang. Untuk itu diperlukan bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam, sehingga kelestarian gambut dapat terjaga. Pemasangan pintu air baik letak maupun jumlahnya perlu diawali dengan mengetahui fluktuasi air di saluran dan lahan.

Sehubungan dengan kendala keterbatasan air di lahan kering, maka diperlukan irigasi suplementer dengan memanfaatkan potensi sumberdaya air yang ada di wilayah tersebut dengan memanfaatkan beragam teknologi yang mampu mengangkat dan mengalirkan air dari sumbernya ke lahan-lahan pertanian. Untuk itu telah dikembangkan sistem irigasi pompa tenaga surya (SI-PTS) yang tidak tergantung pada tenaga listrik atau bahan bakar lainnya. Penggunaan energi matahari tidak memerlukan listrik, ekstra hemat energi, ramah lingkungan, penggunaannya mudah, efisiensi, kinerja stabil, dan dapat digunakan dalam jangka waktu lama. Penelitian bertujuan untuk mendesain SI-PTS yang hemat air dan energi serta menghitung efisiensi irigasi SI-PTS dibandingkan dengan pompa sentrifugal/jetpump yang digunakan petani. Hasil analisis kadar air tanah menujukkan bahwa penggunaan SI-PTS dengan teknik irigasi impact sprinkler (irigasi rekomendasi) mempunyai kadar air tanah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan irigasi pola petani. Hal ini mengindikasikan bahwa irigasi rekomendasi relatif lebih efektif dalam mendisitribusikan air baik secara horizontal (sekeliling pertanaman) dan vertikal (ke lapisan perakaran tanaman). Pertumbuhan tanaman bawang merah yang direpresentasikan melalui tinggi tanaman menunjukkan bahwa perlakuan irigasi rekomendasi mempunyai rata-rata tinggi tanaman lebih tinggi dari perlakuan irigasi pola petani. Adapun bobot bawang merah total pada irigasi rekomendasi lebih berat bila dibandingkan dengan pola petani. Selain itu penggunaan SI-PTS dapat menghemat konsumsi BBM dari 162,5 liter menjadi 58 liter dan biaya pembelian BBM dari Rp. 1.202.000,-menjadi Rp. 425.500 per hektar per musim, sehingga terjadi penghematan 183%. Lebih lanjut penggunaan SI-PTS dapat menekan emisi GRK yang bersumber dari penggunaan bahan hidrokarbon dari 0,409 ton CO2 menjadi 0,146 ton CO2 sehingga lebih ramah lingkungan. Penelitian ini merekomendasikan untuk mengembangkan sistem irigasi pompa tenaga surya pada lahan kering terutama pada tanaman ke dua pada musim kering agar distribusi air dari sumbernya dapat dialirkan ke lahan sesuai kebutuhan tanaman dengan efektif, efisien, dan ramah lingkungan.